Selasa, 09 Februari 2010

Sejarah dan Eksistensi Perjalanan Golkar

Oleh : Ali Mobiliu
Dimuat di Harian Suara Publik Desember 2009

Dewan Pimpinan Daerah (DPD) I Golkar Provinsi Gorontalo kembali diramaikan dengan Musyawarah Daerah yang hingga tulisan ini dirilis masih terus berlangsung di Pentadio Resort. Tidak tanggung-tanggung Musda kali ini dihadiri Ketua Umum dan Menteri Perikanan dan Kelautan RI yang juga Ketua DPD I Golkar Provinsi Gorontalo Fadel Muhammad. Namun apapun hasil Musda kali ini, seluruh simpatisan dan kader Golkar di semua tingkatan tentu berharap bahwa Musda kali ini menghasilkan kepengurusan yang mampu mengangkat dan mengembalikan kejayaan Golkar khususnya di Provinsi Gorontalo.

Meski demikian, kegiatan Musda DPD I Golkar ini bukan menjadi tema utama dalam tulisan ini, melainkan mencoba mengungkap kembali sejarah Golkar hingga menjadi Partai besar seperti sekarang. Hal ini penting untuk merefleksikan kembali keberadaan dan peran partai ini dalam sejarah perjalanan bangsa, untuk kemudian bangkit dan bersama-sama memajukan partai yang pada Pemilu 2009 lalu hanya berada di urutan kedua dalam perolehan suara secara nasional setelah Partai Demokrat.

Partai GOLKAR sebenarnya berawal dari tahun 1945, yaitu sejak dikeluarkannya Maklumat Presiden Soekarno Nomor X yang kemudian disusul Maklumat Pemerintah tanggal 3 Nopember 1945. Maklumat ini memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mendirikan partai politik dengan ideologi yang beraneka ragam. Keluarnya Maklumat ini ternyata justru menimbulkan ketidak stabilan dalam politik dan keamanan.

Kondisi demikian ini membuat TNI mengambil langkah dengan menggalang golongan-golongan fungsional dengan maksud agar golongan tersebut dapat diajak turut serta dalam usaha pemulihan keamanan. Sebagai wadah kerjasama dibentuklah berbagai badan kerjasama sipil-militer, seperti Badan Kerjasama Buruh-Militer, Tani-Militer, Pemuda-Militer, Wanita-Militer, Ulama-Militer. Ajakan TNI ini mendapat sambutan baik dan positif dari golongan-golongan fungsional yang tidak berafiliasi kepada partai politik. Hal ini disebabkan kesamaan persepsi mengenai perjuangan melaksanakan pengabdian terhadap masyarakat, bangsa dan negara.

Gagasan Nasionalis-Agama-Komunis (Nasakom) yang dicanangkan Bung Karno dieksploitasi maksimal oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Seluruh kelembagaan politik yang dibentuk dan yang telah ada didominasi PKI atau politikus yang bersimpati atau berafiliasi kepada PKI.

Untuk menghadapi dominasi PKI yang dalam visi-misinya sangat anti pancasila dan UUD 1945 dan pengaruhnya kian merasuk ke dalam kehidupan masyarakat, maka pada tahun 1964, golongan militer, khususnya perwira Angkatan Darat ( seperti Letkol Suhardiman dari SOKSI) menghimpun berpuluh-puluh organisasi pemuda, wanita, sarjana, buruh, tani, dan nelayan dalam Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar).
Sekber Golkar didirikan pada tanggal 20 Oktober 1964. Sekber Golkar ini lahir karena rongrongan dari PKI beserta ormasnya dalam kehidupan politik baik di dalam maupun di luar Front Nasional yang makin meningkat. Sekber Golkar ini merupakan wadah dari golongan fungsional/golongan karya murni yang tidak berada dibawah pengaruh politik tertentu. Jumlah anggota Sekber Golkar ini bertambah dengan pesat, karena golongan fungsional lain yang menjadi anggota Sekber Golkar dalam Front Nasional menyadari bahwa perjuangan dari organisasi fungsional Sekber Golkar adalah untuk menegakkan Pancasila dan UUD 1945. Semula anggotanya berjumlah 61 organisasi yang kemudian berkembang hingga mencapai 291 organisasi.
Dengan adanya pengakuan tentang kehadiran dan legalitas golongan fungsional di MPRS dan Front Nasional maka atas dorongan TNI dibentuklah Sekretariat Bersama Golongan Karya, disingkat Sekber GOLKAR, pada tanggal 20 Oktober 1964. Terpilih sebagai Ketua Pertama, Brigadir Jenderal (Brigjen) Djuhartono sebelum digantikan Mayor Jenderal (Mayjen) Suprapto Sukowati lewat Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) I, Desember 1965.
Pada awal pertumbuhannya, Sekber GOLKAR beranggotakan 61 organisasi fungsional yang kemudian berkembang menjadi 291 organisasi fungsional. Ini terjadi karena adanya kesamaan visi diantara masing-masing anggota. Organisasi-organisasi yang terhimpun ke dalam Sekber GOLKAR ini kemudian dikelompokkan berdasarkan kekaryaannya ke dalam 7 (tujuh) Kelompok Induk Organisasi (KINO), yaitu:
1. Koperasi Serbaguna Gotong Royong (KOSGORO)
2. Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI)
3. Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR)
4. Organisasi Profesi
5. Ormas Pertahanan Keamanan (HANKAM)
6. Gerakan Karya Rakyat Indonesia (GAKARI)
7. Gerakan Pembangunan
Untuk menghadapi Pemilu 1971, 7 KINO yang merupakan kekuatan inti dari Sekber GOLKAR tersebut, mengeluarkan keputusan bersama pada tanggal 4 Februari 1970 untuk ikut menjadi peserta Pemilu melalui satu nama dan tanda gambar yaitu Golongan Karya (GOLKAR). Logo dan nama ini, sejak Pemilu 1971, tetap dipertahankan sampai sekarang.
Pada Pemilu 1971 ini, Sekber GOLKAR ikut serta menjadi salah satu konsestan. Pihak parpol memandang remeh keikutsertaan GOLKAR sebagai kontestan Pemilu. Mereka meragukan kemampuan komunikasi politik GOLKAR kepada grassroot level. NU, PNI dan Parmusi yang mewakili kebesaran dan kejayaan masa lampau sangat yakin keluar sebagai pemenang. Mereka tidak menyadari kalau perpecahan dan kericuhan internal mereka telah membuat tokoh-tokohnya berpindah ke GOLKAR.
Hasilnya di luar dugaan. GOLKAR sukses besar dan berhasil menang dengan 34.348.673 suara atau 62,79 % dari total perolehan suara. Perolehan suaranya pun cukup merata di seluruh propinsi, berbeda dengan parpol yang berpegang kepada basis tradisional. NU hanya menang di Jawa Timur dan Kalimantan Selatan, Partai Katholik di Nusa Tenggara Timur, PNI di Jawa Tengah, Parmusi di Sumatera Barat dan Aceh. Sedangkan Murba tidak memperoleh suara signifikan sehingga tidak memperoleh kursi DPR.
Kemudian, sesuai ketentuan dalam ketetapan MPRS mengenai perlunya penataan kembali kehidupan politik Indonesia, pada tanggal 17 Juli 1971 Sekber GOLKAR mengubah dirinya menjadi GOLKAR. GOLKAR menyatakan diri bukan parpol karena terminologi ini mengandung pengertian dan pengutamaan politik dengan mengesampingkan pembangunan dan karya.
September 1973, GOLKAR menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) I di Surabaya. Mayjen Amir Murtono terpilih sebagai Ketua Umum. Konsolidasi GOLKAR pun mulai berjalan seiring dibentuknya wadah-wadah profesi, seperti Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) dan Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI).
Setelah Peristiwa G30S/PKI maka Sekber Golkar, dengan dukungan sepenuhnya dari Soeharto sebagai pimpinan militer, melancarkan aksi-aksinya untuk melumpuhkan mula-mula kekuatan PKI, kemudian juga kekuatan Bung Karno.
Pada dasarnya Golkar dan TNI-AD merupakan tulang punggung rezim militer Orde Baru. Semua politik Orde Baru diciptakan dan kemudian dilaksanakan oleh pimpinan militer dan Golkar. Selama puluhan tahun Orde Baru berkuasa, jabatan-jabatan dalam struktur eksekutif, legislatif dan yudikatif, hampir semuanya diduduki oleh kader-kader Golkar.
Keluarga besar Golongan Karya sebagai jaringan konstituen, dibina sejak awal Orde Baru melalui suatu pengaturan informal yaitu jalur A untuk lingkungan militer, jalur B untuk lingkungan birokrasi dan jalur G untuk lingkungan sipil di luar birokrasi. Pemuka ketiga jalur terebut melakukan fungsi pengendalian terhadap Golkar lewat Dewan Pembina yang mempunyai peran strategis. Setelah Soeharto mengundurkan diri pada 1998, keberadaan Golkar mulai ditentang oleh para aktivis dan mahasiswa. Peraturan Monoloyalitas merupakan kebijakan pemerintahan Orde Baru yang mewajibkan semua pegawai negeri sipil (PNS) untuk menyalurkan aspirasi politiknya kepada Golongan Karya. Setelah Suharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998, kebijakan ini dicabut. Sekarang pegawai negeri sipil bebas menentukan wadah aspirasi politiknya.
Setelah pemerintahan Soeharto selesai dan reformasi bergulir, GOLKAR berubah wujud menjadi Partai GOLKAR, dan untuk pertama kalinya mengikuti Pemilu tanpa ada bantuan kebijakan-kebijakan yang berarti seperti sebelumnya di masa pemerintahan Soeharto. Pada Pemilu 1999 yang diselenggarakan Presiden Habibie, perolehan suara Partai GOLKAR turun menjadi peringkat kedua setelah PDI-P.
Ketidakpuasan terhadap pemerintahan Megawati Soekarnoputri menjadi salah satu sebab para pemilih di Pemilu legislatif 2004 untuk kembali memilih Partai GOLKAR, selain partai-partai lainnya seperti Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa, dan lain-lain. Partai GOLKAR menjadi pemenang Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif pada tahun 2004 dengan meraih 24.480.757 suara atau 21,58% dari keseluruhan suara sah.
Kemenangan tersebut merupakan prestasi tersendiri bagi Partai GOLKAR karena pada Pemilu Legislatif 1999, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan mendominasi perolehan suara. Dalam Pemilu 1999, Partai GOLKAR menduduki peringkat kedua dengan perolehan 23.741.758 suara atau 22,44% dari suara sah. Sekilas Partai GOLKAR mendapat peningkatan 738.999 suara, tapi dari prosentase turun sebanyak 0,86%.
Pada Pemilu 2009, perolehan suara Partai Golkar lagi-lagi merosot jauh dari perolehan suara Partai Demokrat yang nota bene Partai baru yakni didekrasikan tahun 2004. Merosotnya perolehan suara Partai Golkar pada 2009 ini, memunculkan wacana bahwa Golkar kedepan perlu berbenah diri, mengapa ia dikalahkan oleh partai yang masih bau kencur. Unggulnya PDIP pada Pemilu 1999 mungkin dapat dimaklumi karena isu reformasi masih bertiup kencang saat itu dan faktor Megawati yang selama orde baru dipersepsikan masyarakat teraniaya oleh pemerintah orde baru menjadikan Partai Moncong Putih itu lebih unggul dari Golkar.
Salah satu wacana yang digulirkan oleh para pengamat agar Golkar kembali merebut dan mendulang suara nomor wahid pada Pemilu mendatang, maka Golkar disarankan untuk berada di luar Pemerintahan dan memfungsikan diri sebagai oposisi yang diharapkan mengkritisi kebijakan pemerintahan yang berkuasa.
Namun harapan itu kemudian dimentahkan, Golkar akhirnya tidak dapat menahan godaan untuk tetap masuk ke dalam lingkaran kekuasaan. Lantas, Apa yang akan dilakukan Golkar kedepan untuk mempertahankan dan kembali mendulang suara terbanyak pada pemilu 2014 mendatang? Mari kita tunggu bersama.
Ketua Umum DPP Golkar Sejak Tahun 1973 : * Sukowati (–1973), * Amir Moertono (1973–1983) * Sudharmono (1983–1988), * Wahono (1988–1993), * Harmoko (1993–1998), * Akbar Tandjung (1998–2004), * Jusuf Kalla (2004–2009), *Aburizal Bakrie (2009 – sekarang) (Disadur dari berbagai Sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar