Selasa, 09 Februari 2010

Gusnar Ismail Dan Tantangan Kedepan

Oleh :
Ali Mobiliu


Pembagian wewenang dan kejelasan delegasi tugas antara Gubernur dan Wakil Gubernur pasca Fadel harus dibuka secara transparan kepada publik. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat memiliki acuan yang jelas dalam menilai, mengevaluasi dan mengkritisi kinerja pemerintahan. Apalagi posisi Wakil Gubenur kali ini (jika disepakati memang harus ada Wakil Gubernur) tidak dihasilkan melalui pemilihan langsung maka tidak tertutup kemungkinan terjadi deal-deal politik tidak sehat di tingkat elite sehingga jauh dari keinginan rakyat yang sesungguhnya. Lagi pula, saat pilgub tahun 2006 silam, penentu kemenangan pasangan calon nomor 1 kala itu diyakini terletak pada sosok Fadel dan bukan Gusnar.

Wakil Gubernur Gorontalo Gusnar Ismail hanya dalam hitungan hari akan menjadi orang nomor satu di daerah ini. Naiknya Gusnar ke dalam tampuk kekuasaan sebagai Gubernur Gorontalo menggantikan posisi Fadel Muhammad merupakan konsekwensi konstitusi yang berlaku di negeri ini. Dibalik itu, posisi Gusnar Ismail dalam dua tahun kedepan ini menjadi sangat strategis sekaligus memiliki tantangan yang tidak ringan.

Ada beberapa kalangan yang mengatakan bahwa Gusnar Ismail telah cukup bekal melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan Fadel dan diyakini telah banyak belajar serta menimba ilmu dari sosok Fadel yang kini menjadi Menteri Perikanan dan Kelautan di kabinet SBY itu.

Namun dalam tataran implementasi kedepan, keyakinan diatas masih mengandung pertanyaan, apakah benar Gusnar Ismail telah banyak belajar dari seorang Fadel?. Meski dalam realitas Gusnar adalah Gusnar dan Fadel adalah Fadel. Namun paling tidak, ada hal positif yang bisa diadopsi dari seorang Fadel untuk menjadi acuan dalam menjalankan roda pemerintahan mendatang.

Persoalannya sekarang, selama pemerintahan Fadel dan Gusnar tujuh tahun lebih lamanya, ada semacam pembagian dan pendelegasian tugas diantara keduanya, yakni Fadel Muhammad bertugas mendatangkan anggaran melalui lobi-lobi tingkat tinggi di Jakarta untuk kemudian diserahkan kepada Gusnar guna dimanfaatkan, diolah dan disuguhkan kepada masyarakat. Bila diibaratkan dalam sebuah rumah tangga, Gusnar selama ini difungsikan sebagai juru masak yang mengolah hasil-hasil dan bahan-bahan yang dipasok Fadel untuk kemudian disuguhkan pada seluruh anggota keluarga.

Pengibaratan ini sekaligus melahirkan kesimpulan bahwa setelah Fadel meninggalkan jabatan Gubernur dan diserahkan ke Gusnar Ismail, maka Gorontalo telah kehilangan figur Bapak yang menjadi tulang punggung mencari nafkah bagi keluarganya. Yang ada hanya Ibu Rumah Tangga yang terbiasa memasak dan mengolah sajian untuk keluarganya. Yang menjadi pertanyaan, apakah pembagian dan pendelegasian tugas yang tidak tertulis namun tersirat ini akan terus berlangsung pasca Fadel Muhammad?.
Hal ini patut dipertanyakan, mengingat banyak faktor yang menjadi pertimbangan, mengapa pembagian dan pendelegasian tugas antara Gubernur dan Wakil Gubernur mesti berlangsung selama ini. Alasannya, potensi Gorontalo yang menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak bisa diandalkan sehingga harus mendatangkan anggaran dari pusat untuk membangun infrastruktur dan menggerakan roda perekonomian.

Jika demikian, lagi-lagi mampukah Gusnar Ismail tampil seperti Fadel yang memiliki kharisma melakukan lobi-lobi tingkat tinggi guna mendatangkan anggaran dari pusat? Ataukah ia akan memposisikan diri sebagai eksekutor dan menyerahkan sepenuhnya urusan lobi melobi di tangan Wakil Gubernur? Ataukah ia dan Wakilnya akan mengeroyok secara bersama-sama dalam mengembangkan potensi daerah untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi? Dan apakah dengan PAD yang hanya sekian miliar rupiah per tahun mampu menggerakkan potensi sumber daya alam bagi upaya meraih kemajuan dan pertumbuhan ekonomi yang signifikan?

Bila mengacu pada kondisi real saat ini, dalam dua hingga lima tahun kedepan, Gorontalo masih membutuhkan arus investasi dari luar untuk membangun infrastruktur, dan modal kerja sekaligus guna mengolah dan mengembangkan potensi daerah. Belum lagi jika berbicara masalah SDM.

Dengan demikian maka Gusnar Ismail mau tidak mau, dalam dua tahun kedepan harus diperhadapkan pada kondisi ini, yakni pola yang pernah dimainkan Fadel masih harus dilakoninya agar tetap eksis. Contoh yang paling dekat, sesaat setelah Fadel dilantik menjadi Menteri, para PNS di jajaran Pemprov mulai dihantui kegelisahan yang khawatir bakal kehilangan Tunjangan Kinerja Daerah (TKD). Hal ini mengindikasikan, Jika Gusnar memungkiri dan enggan menerapkan gaya kepemimpinan Fadel terutama dalam soal mendatangkan investasi dan anggaran dari pusat, maka pemerintahannya dalam dua tahun kedepan dipastikan akan goyah dan citranya sebagai pemimpin akan babak belur yang berakibat fatal pada pilgub 2011.


Ungkapan diatas merupakan sinyalemen yang realistis, karena untuk mendongkrak pendapatan daerah maupun meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah secara berdikari melalui pengembangan potensi daerah melalui komoditi unggulan membutuhkan arus modal yang kuat sekaligus butuh proses waktu yang cukup lama. Dari mana modal yang besar itu, maka pilihannya adalah dua kemungkinan, melobi pemerintah pusat termasuk lembaga-lembaga donor mengucurkan dana segar ke daerah dan kemungkinan kedua mengundang investor nasional, regional dan internasional menanamkan modalnya di daerah. Setelah dua kemungkinan itu berhasil masih ada lagi persoalan yang harus segera ditangani yakni terkait dengan pembenahan mentalitas birokrasi, dan regulasi di bidang birokrasi pemerintahan lainnya.

Jika saja pemerintah Provinsi tidak all out menempuh dua kemungkinan pilihan tersebut diatas, maka satu-satunya jalan adalah, memberdayakan potensi alam dan SDM yang dimiliki secara mandiri melalui kekuatan masyarakat sendiri.

Namun pilihan ini memiliki resiko dan resistensi akibat kondisi mental masyarakat yang pada umumnya belum memiliki etos kerja dan daya juang yang tinggi sehingga belum mampu menunjang terwujudnya sebuah kemajuan kolektif.

Bukti terhadap hal itu sangat mencolok ditemui dimana-mana. Sebagai contoh di daerah transmigrasi misalnya, ternyata orang-orang transmigran jauh lebih maju perekonomiannya jika dibandingkan dengan penduduk asli. Umumnya masyarakat Transmigran sudah memiliki rumah-rumah permanent, anak-anak mereka memiliki tingkat pendidikan yang lebih maju, sementara orang Gorontalo asli masih berkutat dengan kemiskinan, banyak lahan-lahan kosong justru dibiarkan merana. Jika ada orang yang pagi-pagi buta sudah ada di sawah, sudah dapat dipastikan itu adalah transmigran, sementara jika ada yang pagi-pagi buta masih tidur, minum kopi sambil ngobrol dan merokok jangan tanya itu pasti orang Gorontalo. Jika ada yang tengah malam mabuk-mabukan dan nongkrong di pinggir jalan sudah hampir dipastikan itu adalah orang Gorontalo. Tidak jarang mereka mau bergerak dan bekerja jika ada bantuan dari pemerintah, tapi setelah pemerintah mengucurkan bantuan, tidak jarang bantuan itu justru dilego dan dijual ke pihak lain. Itu contoh kecil yang membawa dampak besar bagi masa depan Gorontalo. Tidak heran, jika saat ini, untuk memenuhi kebutuhan Cabe saja, Gorontalo harus mendatangkannya dari daerah lain semisal Palu dan Sulut,. Demikian pula dengan bawang merah, bawang putih dan kebutuhan daging banyak yang harus didatangkan dari luar Gorontalo.


Contoh lainnya, bangunan-bangunan megah dan mentereng yang ada di pusat Kota Gorontalo saat ini, mulai dari perkantoran, Mall, Super Market dan Pasar Swalayan hampir keseluruhan atau 90 persen pemiliknya bukan orang Gorontalo asli alias perantau. Banyak orang Gorontalo yang jadi pengusaha terkenal tapi kebanyakan diantara mereka menjadi kontraktor.


Untuk itu kedepan, Gorontalo harus menjadi sentra produksi hasil-hasil pertanian dan peternakan untuk dijual ke daerah lain dan bahkan diekspor sebagai sumber pergerakan ekonomi Gorontalo. Sekali lagi, hal ini bisa diraih jika ada dana stimulan maupun tambahan dana segar dan modal kerja yang cukup yang harus didatangkan dari pemerintah pusat maupun dari para investor. Selain mengembangkan potensi daerah, Gusnar Ismail juga harus mampu menciptakan pasar dalam negeri dan luar negeri, harus mampu menjalin kerjasama dan koordinasi yang harmonis dengan Pemerintah Kabupaten-Kota untuk bahu-membahu mengembangkan potensi daerah. Yang tidak kalah pentingnya lagi adalah meminimalisir kegiatan-kegiatan seremonial yang menguras banyak dana. Efisiensi anggaran benar-benar harus menjadi prioritas Pemerintahan Gusnar. Yang jelas. Gusnar menghadapi Tantangan Berat minimal dalam dua Tahun kedepan, apalagi ia harus membangun citra untuk kepentingan Pilgub 2011.(***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar