Sabtu, 20 Februari 2010
Selasa, 09 Februari 2010
Musda DPD I Golkar Gorontalo, Rusli Habibie Terpilih Secara Aklamasi
GORONTALO (SP) – Musyawarah Daerah (Musda) Partai Golkar ke tiga Provinsi Gorontalo secara aklamasi memilih Rusli Habibie sebagai ketua DPD Golkar Gorontalo yang baru menggantikan Fadel Muhammad.
Rusli Habibie, yang menjabat sebagai bupati Kabupaten Gorontalo Utara itu, terpilih secara aklamasi dengan mendapatkan sepuluh suara dari seluruh DPD-DPD tingkat Dua dan organisasi yang mendirikan dan didirikan partai Golkar, serta organisasi sayap.
Musawarah daerah tersebut digelar sejak tanggal Kamis (12/11) malam dan berlangsung hingga Jumat (13/11) di tempat wisata Pentadio Resort.
Paris Yusuf, ketua panitia pelaksana Musyawarah Daerah mengatakan, Rusli terpilih secara aklamasi karena sampai dengan batas waktu yang ditentukan, tak satupun calon lain yang mendaftarkan diri sebagai calon ketua partai Golkar.
“ Hanya dia satu-satunya calon yang mendaftar,” kata Paris, Jumat (13/11) kemarin.
Sidang pemilihan pimpinan partai Golkar daerah itu diluar prediksi dari berbagai kalangan. Pasalnya, banyak selentingan yang mengatakan bahwa pelaksana tugas Gubernur Gorontalo, Gusnar Ismail serta Walikota Gorontalo, Adhan Dambea akan ikut meramaikan bursa pencalonan. Namun hingga waktu pemilihan keduanya tidak muncul dalam arena Musda.
“ Musda berlangsung begitu cepat dan Rusli Habibie terpilih sebagai ketua DPD I Golkar pada hari Jumat sekitar pukul 03.00 dini hari,” kata Paris.
Menariknya, jalannya sidang pemilihan ketua DPD I Golkar Gorontalo tersebut dipimpin oleh Ketua umum PSSI, Nurdin Halid, yang kini menjabat sebagai ketua pemenangan pemilu wilayah Sulawesi. Nurdin-lah orang yang mengesahkan Rusli Habibie sebagai ketua DPD I Golkar Gorontalo. (SP-43/10)
Gusnar Ismail Dan Tantangan Kedepan
Ali Mobiliu
Pembagian wewenang dan kejelasan delegasi tugas antara Gubernur dan Wakil Gubernur pasca Fadel harus dibuka secara transparan kepada publik. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat memiliki acuan yang jelas dalam menilai, mengevaluasi dan mengkritisi kinerja pemerintahan. Apalagi posisi Wakil Gubenur kali ini (jika disepakati memang harus ada Wakil Gubernur) tidak dihasilkan melalui pemilihan langsung maka tidak tertutup kemungkinan terjadi deal-deal politik tidak sehat di tingkat elite sehingga jauh dari keinginan rakyat yang sesungguhnya. Lagi pula, saat pilgub tahun 2006 silam, penentu kemenangan pasangan calon nomor 1 kala itu diyakini terletak pada sosok Fadel dan bukan Gusnar.
Wakil Gubernur Gorontalo Gusnar Ismail hanya dalam hitungan hari akan menjadi orang nomor satu di daerah ini. Naiknya Gusnar ke dalam tampuk kekuasaan sebagai Gubernur Gorontalo menggantikan posisi Fadel Muhammad merupakan konsekwensi konstitusi yang berlaku di negeri ini. Dibalik itu, posisi Gusnar Ismail dalam dua tahun kedepan ini menjadi sangat strategis sekaligus memiliki tantangan yang tidak ringan.
Ada beberapa kalangan yang mengatakan bahwa Gusnar Ismail telah cukup bekal melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan Fadel dan diyakini telah banyak belajar serta menimba ilmu dari sosok Fadel yang kini menjadi Menteri Perikanan dan Kelautan di kabinet SBY itu.
Namun dalam tataran implementasi kedepan, keyakinan diatas masih mengandung pertanyaan, apakah benar Gusnar Ismail telah banyak belajar dari seorang Fadel?. Meski dalam realitas Gusnar adalah Gusnar dan Fadel adalah Fadel. Namun paling tidak, ada hal positif yang bisa diadopsi dari seorang Fadel untuk menjadi acuan dalam menjalankan roda pemerintahan mendatang.
Persoalannya sekarang, selama pemerintahan Fadel dan Gusnar tujuh tahun lebih lamanya, ada semacam pembagian dan pendelegasian tugas diantara keduanya, yakni Fadel Muhammad bertugas mendatangkan anggaran melalui lobi-lobi tingkat tinggi di Jakarta untuk kemudian diserahkan kepada Gusnar guna dimanfaatkan, diolah dan disuguhkan kepada masyarakat. Bila diibaratkan dalam sebuah rumah tangga, Gusnar selama ini difungsikan sebagai juru masak yang mengolah hasil-hasil dan bahan-bahan yang dipasok Fadel untuk kemudian disuguhkan pada seluruh anggota keluarga.
Pengibaratan ini sekaligus melahirkan kesimpulan bahwa setelah Fadel meninggalkan jabatan Gubernur dan diserahkan ke Gusnar Ismail, maka Gorontalo telah kehilangan figur Bapak yang menjadi tulang punggung mencari nafkah bagi keluarganya. Yang ada hanya Ibu Rumah Tangga yang terbiasa memasak dan mengolah sajian untuk keluarganya. Yang menjadi pertanyaan, apakah pembagian dan pendelegasian tugas yang tidak tertulis namun tersirat ini akan terus berlangsung pasca Fadel Muhammad?.
Hal ini patut dipertanyakan, mengingat banyak faktor yang menjadi pertimbangan, mengapa pembagian dan pendelegasian tugas antara Gubernur dan Wakil Gubernur mesti berlangsung selama ini. Alasannya, potensi Gorontalo yang menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak bisa diandalkan sehingga harus mendatangkan anggaran dari pusat untuk membangun infrastruktur dan menggerakan roda perekonomian.
Jika demikian, lagi-lagi mampukah Gusnar Ismail tampil seperti Fadel yang memiliki kharisma melakukan lobi-lobi tingkat tinggi guna mendatangkan anggaran dari pusat? Ataukah ia akan memposisikan diri sebagai eksekutor dan menyerahkan sepenuhnya urusan lobi melobi di tangan Wakil Gubernur? Ataukah ia dan Wakilnya akan mengeroyok secara bersama-sama dalam mengembangkan potensi daerah untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi? Dan apakah dengan PAD yang hanya sekian miliar rupiah per tahun mampu menggerakkan potensi sumber daya alam bagi upaya meraih kemajuan dan pertumbuhan ekonomi yang signifikan?
Bila mengacu pada kondisi real saat ini, dalam dua hingga lima tahun kedepan, Gorontalo masih membutuhkan arus investasi dari luar untuk membangun infrastruktur, dan modal kerja sekaligus guna mengolah dan mengembangkan potensi daerah. Belum lagi jika berbicara masalah SDM.
Dengan demikian maka Gusnar Ismail mau tidak mau, dalam dua tahun kedepan harus diperhadapkan pada kondisi ini, yakni pola yang pernah dimainkan Fadel masih harus dilakoninya agar tetap eksis. Contoh yang paling dekat, sesaat setelah Fadel dilantik menjadi Menteri, para PNS di jajaran Pemprov mulai dihantui kegelisahan yang khawatir bakal kehilangan Tunjangan Kinerja Daerah (TKD). Hal ini mengindikasikan, Jika Gusnar memungkiri dan enggan menerapkan gaya kepemimpinan Fadel terutama dalam soal mendatangkan investasi dan anggaran dari pusat, maka pemerintahannya dalam dua tahun kedepan dipastikan akan goyah dan citranya sebagai pemimpin akan babak belur yang berakibat fatal pada pilgub 2011.
Ungkapan diatas merupakan sinyalemen yang realistis, karena untuk mendongkrak pendapatan daerah maupun meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah secara berdikari melalui pengembangan potensi daerah melalui komoditi unggulan membutuhkan arus modal yang kuat sekaligus butuh proses waktu yang cukup lama. Dari mana modal yang besar itu, maka pilihannya adalah dua kemungkinan, melobi pemerintah pusat termasuk lembaga-lembaga donor mengucurkan dana segar ke daerah dan kemungkinan kedua mengundang investor nasional, regional dan internasional menanamkan modalnya di daerah. Setelah dua kemungkinan itu berhasil masih ada lagi persoalan yang harus segera ditangani yakni terkait dengan pembenahan mentalitas birokrasi, dan regulasi di bidang birokrasi pemerintahan lainnya.
Jika saja pemerintah Provinsi tidak all out menempuh dua kemungkinan pilihan tersebut diatas, maka satu-satunya jalan adalah, memberdayakan potensi alam dan SDM yang dimiliki secara mandiri melalui kekuatan masyarakat sendiri.
Namun pilihan ini memiliki resiko dan resistensi akibat kondisi mental masyarakat yang pada umumnya belum memiliki etos kerja dan daya juang yang tinggi sehingga belum mampu menunjang terwujudnya sebuah kemajuan kolektif.
Bukti terhadap hal itu sangat mencolok ditemui dimana-mana. Sebagai contoh di daerah transmigrasi misalnya, ternyata orang-orang transmigran jauh lebih maju perekonomiannya jika dibandingkan dengan penduduk asli. Umumnya masyarakat Transmigran sudah memiliki rumah-rumah permanent, anak-anak mereka memiliki tingkat pendidikan yang lebih maju, sementara orang Gorontalo asli masih berkutat dengan kemiskinan, banyak lahan-lahan kosong justru dibiarkan merana. Jika ada orang yang pagi-pagi buta sudah ada di sawah, sudah dapat dipastikan itu adalah transmigran, sementara jika ada yang pagi-pagi buta masih tidur, minum kopi sambil ngobrol dan merokok jangan tanya itu pasti orang Gorontalo. Jika ada yang tengah malam mabuk-mabukan dan nongkrong di pinggir jalan sudah hampir dipastikan itu adalah orang Gorontalo. Tidak jarang mereka mau bergerak dan bekerja jika ada bantuan dari pemerintah, tapi setelah pemerintah mengucurkan bantuan, tidak jarang bantuan itu justru dilego dan dijual ke pihak lain. Itu contoh kecil yang membawa dampak besar bagi masa depan Gorontalo. Tidak heran, jika saat ini, untuk memenuhi kebutuhan Cabe saja, Gorontalo harus mendatangkannya dari daerah lain semisal Palu dan Sulut,. Demikian pula dengan bawang merah, bawang putih dan kebutuhan daging banyak yang harus didatangkan dari luar Gorontalo.
Contoh lainnya, bangunan-bangunan megah dan mentereng yang ada di pusat Kota Gorontalo saat ini, mulai dari perkantoran, Mall, Super Market dan Pasar Swalayan hampir keseluruhan atau 90 persen pemiliknya bukan orang Gorontalo asli alias perantau. Banyak orang Gorontalo yang jadi pengusaha terkenal tapi kebanyakan diantara mereka menjadi kontraktor.
Untuk itu kedepan, Gorontalo harus menjadi sentra produksi hasil-hasil pertanian dan peternakan untuk dijual ke daerah lain dan bahkan diekspor sebagai sumber pergerakan ekonomi Gorontalo. Sekali lagi, hal ini bisa diraih jika ada dana stimulan maupun tambahan dana segar dan modal kerja yang cukup yang harus didatangkan dari pemerintah pusat maupun dari para investor. Selain mengembangkan potensi daerah, Gusnar Ismail juga harus mampu menciptakan pasar dalam negeri dan luar negeri, harus mampu menjalin kerjasama dan koordinasi yang harmonis dengan Pemerintah Kabupaten-Kota untuk bahu-membahu mengembangkan potensi daerah. Yang tidak kalah pentingnya lagi adalah meminimalisir kegiatan-kegiatan seremonial yang menguras banyak dana. Efisiensi anggaran benar-benar harus menjadi prioritas Pemerintahan Gusnar. Yang jelas. Gusnar menghadapi Tantangan Berat minimal dalam dua Tahun kedepan, apalagi ia harus membangun citra untuk kepentingan Pilgub 2011.(***)
Sejarah dan Eksistensi Perjalanan Golkar
Dimuat di Harian Suara Publik Desember 2009
Dewan Pimpinan Daerah (DPD) I Golkar Provinsi Gorontalo kembali diramaikan dengan Musyawarah Daerah yang hingga tulisan ini dirilis masih terus berlangsung di Pentadio Resort. Tidak tanggung-tanggung Musda kali ini dihadiri Ketua Umum dan Menteri Perikanan dan Kelautan RI yang juga Ketua DPD I Golkar Provinsi Gorontalo Fadel Muhammad. Namun apapun hasil Musda kali ini, seluruh simpatisan dan kader Golkar di semua tingkatan tentu berharap bahwa Musda kali ini menghasilkan kepengurusan yang mampu mengangkat dan mengembalikan kejayaan Golkar khususnya di Provinsi Gorontalo.
Meski demikian, kegiatan Musda DPD I Golkar ini bukan menjadi tema utama dalam tulisan ini, melainkan mencoba mengungkap kembali sejarah Golkar hingga menjadi Partai besar seperti sekarang. Hal ini penting untuk merefleksikan kembali keberadaan dan peran partai ini dalam sejarah perjalanan bangsa, untuk kemudian bangkit dan bersama-sama memajukan partai yang pada Pemilu 2009 lalu hanya berada di urutan kedua dalam perolehan suara secara nasional setelah Partai Demokrat.
Partai GOLKAR sebenarnya berawal dari tahun 1945, yaitu sejak dikeluarkannya Maklumat Presiden Soekarno Nomor X yang kemudian disusul Maklumat Pemerintah tanggal 3 Nopember 1945. Maklumat ini memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mendirikan partai politik dengan ideologi yang beraneka ragam. Keluarnya Maklumat ini ternyata justru menimbulkan ketidak stabilan dalam politik dan keamanan.
Kondisi demikian ini membuat TNI mengambil langkah dengan menggalang golongan-golongan fungsional dengan maksud agar golongan tersebut dapat diajak turut serta dalam usaha pemulihan keamanan. Sebagai wadah kerjasama dibentuklah berbagai badan kerjasama sipil-militer, seperti Badan Kerjasama Buruh-Militer, Tani-Militer, Pemuda-Militer, Wanita-Militer, Ulama-Militer. Ajakan TNI ini mendapat sambutan baik dan positif dari golongan-golongan fungsional yang tidak berafiliasi kepada partai politik. Hal ini disebabkan kesamaan persepsi mengenai perjuangan melaksanakan pengabdian terhadap masyarakat, bangsa dan negara.
Gagasan Nasionalis-Agama-Komunis (Nasakom) yang dicanangkan Bung Karno dieksploitasi maksimal oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Seluruh kelembagaan politik yang dibentuk dan yang telah ada didominasi PKI atau politikus yang bersimpati atau berafiliasi kepada PKI.
Untuk menghadapi dominasi PKI yang dalam visi-misinya sangat anti pancasila dan UUD 1945 dan pengaruhnya kian merasuk ke dalam kehidupan masyarakat, maka pada tahun 1964, golongan militer, khususnya perwira Angkatan Darat ( seperti Letkol Suhardiman dari SOKSI) menghimpun berpuluh-puluh organisasi pemuda, wanita, sarjana, buruh, tani, dan nelayan dalam Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar).
Sekber Golkar didirikan pada tanggal 20 Oktober 1964. Sekber Golkar ini lahir karena rongrongan dari PKI beserta ormasnya dalam kehidupan politik baik di dalam maupun di luar Front Nasional yang makin meningkat. Sekber Golkar ini merupakan wadah dari golongan fungsional/golongan karya murni yang tidak berada dibawah pengaruh politik tertentu. Jumlah anggota Sekber Golkar ini bertambah dengan pesat, karena golongan fungsional lain yang menjadi anggota Sekber Golkar dalam Front Nasional menyadari bahwa perjuangan dari organisasi fungsional Sekber Golkar adalah untuk menegakkan Pancasila dan UUD 1945. Semula anggotanya berjumlah 61 organisasi yang kemudian berkembang hingga mencapai 291 organisasi.
Dengan adanya pengakuan tentang kehadiran dan legalitas golongan fungsional di MPRS dan Front Nasional maka atas dorongan TNI dibentuklah Sekretariat Bersama Golongan Karya, disingkat Sekber GOLKAR, pada tanggal 20 Oktober 1964. Terpilih sebagai Ketua Pertama, Brigadir Jenderal (Brigjen) Djuhartono sebelum digantikan Mayor Jenderal (Mayjen) Suprapto Sukowati lewat Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) I, Desember 1965.
Pada awal pertumbuhannya, Sekber GOLKAR beranggotakan 61 organisasi fungsional yang kemudian berkembang menjadi 291 organisasi fungsional. Ini terjadi karena adanya kesamaan visi diantara masing-masing anggota. Organisasi-organisasi yang terhimpun ke dalam Sekber GOLKAR ini kemudian dikelompokkan berdasarkan kekaryaannya ke dalam 7 (tujuh) Kelompok Induk Organisasi (KINO), yaitu:
1. Koperasi Serbaguna Gotong Royong (KOSGORO)
2. Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI)
3. Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR)
4. Organisasi Profesi
5. Ormas Pertahanan Keamanan (HANKAM)
6. Gerakan Karya Rakyat Indonesia (GAKARI)
7. Gerakan Pembangunan
Untuk menghadapi Pemilu 1971, 7 KINO yang merupakan kekuatan inti dari Sekber GOLKAR tersebut, mengeluarkan keputusan bersama pada tanggal 4 Februari 1970 untuk ikut menjadi peserta Pemilu melalui satu nama dan tanda gambar yaitu Golongan Karya (GOLKAR). Logo dan nama ini, sejak Pemilu 1971, tetap dipertahankan sampai sekarang.
Pada Pemilu 1971 ini, Sekber GOLKAR ikut serta menjadi salah satu konsestan. Pihak parpol memandang remeh keikutsertaan GOLKAR sebagai kontestan Pemilu. Mereka meragukan kemampuan komunikasi politik GOLKAR kepada grassroot level. NU, PNI dan Parmusi yang mewakili kebesaran dan kejayaan masa lampau sangat yakin keluar sebagai pemenang. Mereka tidak menyadari kalau perpecahan dan kericuhan internal mereka telah membuat tokoh-tokohnya berpindah ke GOLKAR.
Hasilnya di luar dugaan. GOLKAR sukses besar dan berhasil menang dengan 34.348.673 suara atau 62,79 % dari total perolehan suara. Perolehan suaranya pun cukup merata di seluruh propinsi, berbeda dengan parpol yang berpegang kepada basis tradisional. NU hanya menang di Jawa Timur dan Kalimantan Selatan, Partai Katholik di Nusa Tenggara Timur, PNI di Jawa Tengah, Parmusi di Sumatera Barat dan Aceh. Sedangkan Murba tidak memperoleh suara signifikan sehingga tidak memperoleh kursi DPR.
Kemudian, sesuai ketentuan dalam ketetapan MPRS mengenai perlunya penataan kembali kehidupan politik Indonesia, pada tanggal 17 Juli 1971 Sekber GOLKAR mengubah dirinya menjadi GOLKAR. GOLKAR menyatakan diri bukan parpol karena terminologi ini mengandung pengertian dan pengutamaan politik dengan mengesampingkan pembangunan dan karya.
September 1973, GOLKAR menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) I di Surabaya. Mayjen Amir Murtono terpilih sebagai Ketua Umum. Konsolidasi GOLKAR pun mulai berjalan seiring dibentuknya wadah-wadah profesi, seperti Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) dan Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI).
Setelah Peristiwa G30S/PKI maka Sekber Golkar, dengan dukungan sepenuhnya dari Soeharto sebagai pimpinan militer, melancarkan aksi-aksinya untuk melumpuhkan mula-mula kekuatan PKI, kemudian juga kekuatan Bung Karno.
Pada dasarnya Golkar dan TNI-AD merupakan tulang punggung rezim militer Orde Baru. Semua politik Orde Baru diciptakan dan kemudian dilaksanakan oleh pimpinan militer dan Golkar. Selama puluhan tahun Orde Baru berkuasa, jabatan-jabatan dalam struktur eksekutif, legislatif dan yudikatif, hampir semuanya diduduki oleh kader-kader Golkar.
Keluarga besar Golongan Karya sebagai jaringan konstituen, dibina sejak awal Orde Baru melalui suatu pengaturan informal yaitu jalur A untuk lingkungan militer, jalur B untuk lingkungan birokrasi dan jalur G untuk lingkungan sipil di luar birokrasi. Pemuka ketiga jalur terebut melakukan fungsi pengendalian terhadap Golkar lewat Dewan Pembina yang mempunyai peran strategis. Setelah Soeharto mengundurkan diri pada 1998, keberadaan Golkar mulai ditentang oleh para aktivis dan mahasiswa. Peraturan Monoloyalitas merupakan kebijakan pemerintahan Orde Baru yang mewajibkan semua pegawai negeri sipil (PNS) untuk menyalurkan aspirasi politiknya kepada Golongan Karya. Setelah Suharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998, kebijakan ini dicabut. Sekarang pegawai negeri sipil bebas menentukan wadah aspirasi politiknya.
Setelah pemerintahan Soeharto selesai dan reformasi bergulir, GOLKAR berubah wujud menjadi Partai GOLKAR, dan untuk pertama kalinya mengikuti Pemilu tanpa ada bantuan kebijakan-kebijakan yang berarti seperti sebelumnya di masa pemerintahan Soeharto. Pada Pemilu 1999 yang diselenggarakan Presiden Habibie, perolehan suara Partai GOLKAR turun menjadi peringkat kedua setelah PDI-P.
Ketidakpuasan terhadap pemerintahan Megawati Soekarnoputri menjadi salah satu sebab para pemilih di Pemilu legislatif 2004 untuk kembali memilih Partai GOLKAR, selain partai-partai lainnya seperti Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa, dan lain-lain. Partai GOLKAR menjadi pemenang Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif pada tahun 2004 dengan meraih 24.480.757 suara atau 21,58% dari keseluruhan suara sah.
Kemenangan tersebut merupakan prestasi tersendiri bagi Partai GOLKAR karena pada Pemilu Legislatif 1999, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan mendominasi perolehan suara. Dalam Pemilu 1999, Partai GOLKAR menduduki peringkat kedua dengan perolehan 23.741.758 suara atau 22,44% dari suara sah. Sekilas Partai GOLKAR mendapat peningkatan 738.999 suara, tapi dari prosentase turun sebanyak 0,86%.
Pada Pemilu 2009, perolehan suara Partai Golkar lagi-lagi merosot jauh dari perolehan suara Partai Demokrat yang nota bene Partai baru yakni didekrasikan tahun 2004. Merosotnya perolehan suara Partai Golkar pada 2009 ini, memunculkan wacana bahwa Golkar kedepan perlu berbenah diri, mengapa ia dikalahkan oleh partai yang masih bau kencur. Unggulnya PDIP pada Pemilu 1999 mungkin dapat dimaklumi karena isu reformasi masih bertiup kencang saat itu dan faktor Megawati yang selama orde baru dipersepsikan masyarakat teraniaya oleh pemerintah orde baru menjadikan Partai Moncong Putih itu lebih unggul dari Golkar.
Salah satu wacana yang digulirkan oleh para pengamat agar Golkar kembali merebut dan mendulang suara nomor wahid pada Pemilu mendatang, maka Golkar disarankan untuk berada di luar Pemerintahan dan memfungsikan diri sebagai oposisi yang diharapkan mengkritisi kebijakan pemerintahan yang berkuasa.
Namun harapan itu kemudian dimentahkan, Golkar akhirnya tidak dapat menahan godaan untuk tetap masuk ke dalam lingkaran kekuasaan. Lantas, Apa yang akan dilakukan Golkar kedepan untuk mempertahankan dan kembali mendulang suara terbanyak pada pemilu 2014 mendatang? Mari kita tunggu bersama.
Ketua Umum DPP Golkar Sejak Tahun 1973 : * Sukowati (–1973), * Amir Moertono (1973–1983) * Sudharmono (1983–1988), * Wahono (1988–1993), * Harmoko (1993–1998), * Akbar Tandjung (1998–2004), * Jusuf Kalla (2004–2009), *Aburizal Bakrie (2009 – sekarang) (Disadur dari berbagai Sumber)
Sejarah dan Eksistensi Perjalanan Golkar
Oleh : Ali Mobiliu
Dimuat di Harian Suara Publik Desember 2009
Dewan Pimpinan Daerah (DPD) I Golkar Provinsi Gorontalo kembali diramaikan dengan Musyawarah Daerah yang hingga tulisan ini dirilis masih terus berlangsung di Pentadio Resort. Tidak tanggung-tanggung Musda kali ini dihadiri Ketua Umum dan Menteri Perikanan dan Kelautan RI yang juga Ketua DPD I Golkar Provinsi Gorontalo Fadel Muhammad. Namun apapun hasil Musda kali ini, seluruh simpatisan dan kader Golkar di semua tingkatan tentu berharap bahwa Musda kali ini menghasilkan kepengurusan yang mampu mengangkat dan mengembalikan kejayaan Golkar khususnya di Provinsi Gorontalo.
Meski demikian, kegiatan Musda DPD I Golkar ini bukan menjadi tema utama dalam tulisan ini, melainkan mencoba mengungkap kembali sejarah Golkar hingga menjadi Partai besar seperti sekarang. Hal ini penting untuk merefleksikan kembali keberadaan dan peran partai ini dalam sejarah perjalanan bangsa, untuk kemudian bangkit dan bersama-sama memajukan partai yang pada Pemilu 2009 lalu hanya berada di urutan kedua dalam perolehan suara secara nasional setelah Partai Demokrat.
Partai GOLKAR sebenarnya berawal dari tahun 1945, yaitu sejak dikeluarkannya Maklumat Presiden Soekarno Nomor X yang kemudian disusul Maklumat Pemerintah tanggal 3 Nopember 1945. Maklumat ini memberi kesempatan kepada masyarakat untuk mendirikan partai politik dengan ideologi yang beraneka ragam. Keluarnya Maklumat ini ternyata justru menimbulkan ketidak stabilan dalam politik dan keamanan.
Kondisi demikian ini membuat TNI mengambil langkah dengan menggalang golongan-golongan fungsional dengan maksud agar golongan tersebut dapat diajak turut serta dalam usaha pemulihan keamanan. Sebagai wadah kerjasama dibentuklah berbagai badan kerjasama sipil-militer, seperti Badan Kerjasama Buruh-Militer, Tani-Militer, Pemuda-Militer, Wanita-Militer, Ulama-Militer. Ajakan TNI ini mendapat sambutan baik dan positif dari golongan-golongan fungsional yang tidak berafiliasi kepada partai politik. Hal ini disebabkan kesamaan persepsi mengenai perjuangan melaksanakan pengabdian terhadap masyarakat, bangsa dan negara.
Gagasan Nasionalis-Agama-Komunis (Nasakom) yang dicanangkan Bung Karno dieksploitasi maksimal oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Seluruh kelembagaan politik yang dibentuk dan yang telah ada didominasi PKI atau politikus yang bersimpati atau berafiliasi kepada PKI.
Untuk menghadapi dominasi PKI yang dalam visi-misinya sangat anti pancasila dan UUD 1945 dan pengaruhnya kian merasuk ke dalam kehidupan masyarakat, maka pada tahun 1964, golongan militer, khususnya perwira Angkatan Darat ( seperti Letkol Suhardiman dari SOKSI) menghimpun berpuluh-puluh organisasi pemuda, wanita, sarjana, buruh, tani, dan nelayan dalam Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar).
Sekber Golkar didirikan pada tanggal 20 Oktober 1964. Sekber Golkar ini lahir karena rongrongan dari PKI beserta ormasnya dalam kehidupan politik baik di dalam maupun di luar Front Nasional yang makin meningkat. Sekber Golkar ini merupakan wadah dari golongan fungsional/golongan karya murni yang tidak berada dibawah pengaruh politik tertentu. Jumlah anggota Sekber Golkar ini bertambah dengan pesat, karena golongan fungsional lain yang menjadi anggota Sekber Golkar dalam Front Nasional menyadari bahwa perjuangan dari organisasi fungsional Sekber Golkar adalah untuk menegakkan Pancasila dan UUD 1945. Semula anggotanya berjumlah 61 organisasi yang kemudian berkembang hingga mencapai 291 organisasi.
Dengan adanya pengakuan tentang kehadiran dan legalitas golongan fungsional di MPRS dan Front Nasional maka atas dorongan TNI dibentuklah Sekretariat Bersama Golongan Karya, disingkat Sekber GOLKAR, pada tanggal 20 Oktober 1964. Terpilih sebagai Ketua Pertama, Brigadir Jenderal (Brigjen) Djuhartono sebelum digantikan Mayor Jenderal (Mayjen) Suprapto Sukowati lewat Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) I, Desember 1965.
Pada awal pertumbuhannya, Sekber GOLKAR beranggotakan 61 organisasi fungsional yang kemudian berkembang menjadi 291 organisasi fungsional. Ini terjadi karena adanya kesamaan visi diantara masing-masing anggota. Organisasi-organisasi yang terhimpun ke dalam Sekber GOLKAR ini kemudian dikelompokkan berdasarkan kekaryaannya ke dalam 7 (tujuh) Kelompok Induk Organisasi (KINO), yaitu:
1. Koperasi Serbaguna Gotong Royong (KOSGORO)
2. Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI)
3. Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR)
4. Organisasi Profesi
5. Ormas Pertahanan Keamanan (HANKAM)
6. Gerakan Karya Rakyat Indonesia (GAKARI)
7. Gerakan Pembangunan
Untuk menghadapi Pemilu 1971, 7 KINO yang merupakan kekuatan inti dari Sekber GOLKAR tersebut, mengeluarkan keputusan bersama pada tanggal 4 Februari 1970 untuk ikut menjadi peserta Pemilu melalui satu nama dan tanda gambar yaitu Golongan Karya (GOLKAR). Logo dan nama ini, sejak Pemilu 1971, tetap dipertahankan sampai sekarang.
Pada Pemilu 1971 ini, Sekber GOLKAR ikut serta menjadi salah satu konsestan. Pihak parpol memandang remeh keikutsertaan GOLKAR sebagai kontestan Pemilu. Mereka meragukan kemampuan komunikasi politik GOLKAR kepada grassroot level. NU, PNI dan Parmusi yang mewakili kebesaran dan kejayaan masa lampau sangat yakin keluar sebagai pemenang. Mereka tidak menyadari kalau perpecahan dan kericuhan internal mereka telah membuat tokoh-tokohnya berpindah ke GOLKAR.
Hasilnya di luar dugaan. GOLKAR sukses besar dan berhasil menang dengan 34.348.673 suara atau 62,79 % dari total perolehan suara. Perolehan suaranya pun cukup merata di seluruh propinsi, berbeda dengan parpol yang berpegang kepada basis tradisional. NU hanya menang di Jawa Timur dan Kalimantan Selatan, Partai Katholik di Nusa Tenggara Timur, PNI di Jawa Tengah, Parmusi di Sumatera Barat dan Aceh. Sedangkan Murba tidak memperoleh suara signifikan sehingga tidak memperoleh kursi DPR.
Kemudian, sesuai ketentuan dalam ketetapan MPRS mengenai perlunya penataan kembali kehidupan politik Indonesia, pada tanggal 17 Juli 1971 Sekber GOLKAR mengubah dirinya menjadi GOLKAR. GOLKAR menyatakan diri bukan parpol karena terminologi ini mengandung pengertian dan pengutamaan politik dengan mengesampingkan pembangunan dan karya.
September 1973, GOLKAR menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) I di Surabaya. Mayjen Amir Murtono terpilih sebagai Ketua Umum. Konsolidasi GOLKAR pun mulai berjalan seiring dibentuknya wadah-wadah profesi, seperti Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) dan Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI).
Setelah Peristiwa G30S/PKI maka Sekber Golkar, dengan dukungan sepenuhnya dari Soeharto sebagai pimpinan militer, melancarkan aksi-aksinya untuk melumpuhkan mula-mula kekuatan PKI, kemudian juga kekuatan Bung Karno.
Pada dasarnya Golkar dan TNI-AD merupakan tulang punggung rezim militer Orde Baru. Semua politik Orde Baru diciptakan dan kemudian dilaksanakan oleh pimpinan militer dan Golkar. Selama puluhan tahun Orde Baru berkuasa, jabatan-jabatan dalam struktur eksekutif, legislatif dan yudikatif, hampir semuanya diduduki oleh kader-kader Golkar.
Keluarga besar Golongan Karya sebagai jaringan konstituen, dibina sejak awal Orde Baru melalui suatu pengaturan informal yaitu jalur A untuk lingkungan militer, jalur B untuk lingkungan birokrasi dan jalur G untuk lingkungan sipil di luar birokrasi. Pemuka ketiga jalur terebut melakukan fungsi pengendalian terhadap Golkar lewat Dewan Pembina yang mempunyai peran strategis. Setelah Soeharto mengundurkan diri pada 1998, keberadaan Golkar mulai ditentang oleh para aktivis dan mahasiswa. Peraturan Monoloyalitas merupakan kebijakan pemerintahan Orde Baru yang mewajibkan semua pegawai negeri sipil (PNS) untuk menyalurkan aspirasi politiknya kepada Golongan Karya. Setelah Suharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998, kebijakan ini dicabut. Sekarang pegawai negeri sipil bebas menentukan wadah aspirasi politiknya.
Setelah pemerintahan Soeharto selesai dan reformasi bergulir, GOLKAR berubah wujud menjadi Partai GOLKAR, dan untuk pertama kalinya mengikuti Pemilu tanpa ada bantuan kebijakan-kebijakan yang berarti seperti sebelumnya di masa pemerintahan Soeharto. Pada Pemilu 1999 yang diselenggarakan Presiden Habibie, perolehan suara Partai GOLKAR turun menjadi peringkat kedua setelah PDI-P.
Ketidakpuasan terhadap pemerintahan Megawati Soekarnoputri menjadi salah satu sebab para pemilih di Pemilu legislatif 2004 untuk kembali memilih Partai GOLKAR, selain partai-partai lainnya seperti Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa, dan lain-lain. Partai GOLKAR menjadi pemenang Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif pada tahun 2004 dengan meraih 24.480.757 suara atau 21,58% dari keseluruhan suara sah.
Kemenangan tersebut merupakan prestasi tersendiri bagi Partai GOLKAR karena pada Pemilu Legislatif 1999, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan mendominasi perolehan suara. Dalam Pemilu 1999, Partai GOLKAR menduduki peringkat kedua dengan perolehan 23.741.758 suara atau 22,44% dari suara sah. Sekilas Partai GOLKAR mendapat peningkatan 738.999 suara, tapi dari prosentase turun sebanyak 0,86%.
Pada Pemilu 2009, perolehan suara Partai Golkar lagi-lagi merosot jauh dari perolehan suara Partai Demokrat yang nota bene Partai baru yakni didekrasikan tahun 2004. Merosotnya perolehan suara Partai Golkar pada 2009 ini, memunculkan wacana bahwa Golkar kedepan perlu berbenah diri, mengapa ia dikalahkan oleh partai yang masih bau kencur. Unggulnya PDIP pada Pemilu 1999 mungkin dapat dimaklumi karena isu reformasi masih bertiup kencang saat itu dan faktor Megawati yang selama orde baru dipersepsikan masyarakat teraniaya oleh pemerintah orde baru menjadikan Partai Moncong Putih itu lebih unggul dari Golkar.
Salah satu wacana yang digulirkan oleh para pengamat agar Golkar kembali merebut dan mendulang suara nomor wahid pada Pemilu mendatang, maka Golkar disarankan untuk berada di luar Pemerintahan dan memfungsikan diri sebagai oposisi yang diharapkan mengkritisi kebijakan pemerintahan yang berkuasa.
Namun harapan itu kemudian dimentahkan, Golkar akhirnya tidak dapat menahan godaan untuk tetap masuk ke dalam lingkaran kekuasaan. Lantas, Apa yang akan dilakukan Golkar kedepan untuk mempertahankan dan kembali mendulang suara terbanyak pada pemilu 2014 mendatang? Mari kita tunggu bersama.
Ketua Umum DPP Golkar Sejak Tahun 1973 : * Sukowati (–1973), * Amir Moertono (1973–1983) * Sudharmono (1983–1988), * Wahono (1988–1993), * Harmoko (1993–1998), * Akbar Tandjung (1998–2004), * Jusuf Kalla (2004–2009), *Aburizal Bakrie (2009 – sekarang) (Disadur dari berbagai Sumber)
Rusli Habibie,Play Maker Politik Gorontalo Pasca Fadel
Rusli Habibie akhirnya menjadi Orang nomor Satu di DPD Golkar Provinsi Gorontalo. Seiring dengan itu, Bupati Kab. Gorontalo Utara ini akan mengemban tugas yang tidak ringan untuk lima tahun kedepan, terutama bagaimana mengembalikan kejayaan Golkar di daerah ini yang pada pemilu 2009 lalu sempat mengalami penurunan suara yang cukup sgnifikan.
Karir politik Rusli Habibie boleh dikatakan tengah berkibar, untuk lima tahun kedepan dan mungkin lima tahun berikutnya Rusli Habibie dipredikasi kelak menjadi sosok politisi yang disegani bahkan menjadi “play maker” menggantikan peran Fadel Muhammad yang kini menjadi Menteri di Kabine SBY.
Setiap orang ada masanya, dan setiap masa ada orangnya, demikianlah yang tengah terjadi. Jika sebelum kedatangan Fadel, mantan Bupati Kab. Gorontalo Ahmad Pakaya pernah berkibar dan menjadi simbol politik di daerah ini, disusul kemudian Adhan Dambea yang juga pernah menjadi penentu peta politik Gorontalo, Kini angin Dewi fortuna rupanya berkibar ke arah Pantai Utara Gorut menyalami pintu Kantor Bupati di Molingkapoto.
Kemunculan figur Rusli Habibie di pentas politik Gorontalo membawa konsekwensi yang cukup riskan terhadap karir politik Gusnar Ismail dan Adhan Dambea yang beberapa waktu lalu sempat memainkan manuver menyusun kekuatan politik baru pasca Fadel Muhammad. Ketidakhadiran Gusnar Ismail dan Adhan Dambea pada Musda Golkar di Pentadio Resort yang digelar Kamis dan Jum’at kemarin secara psikologis dapat dianalisa merupakan bentuk penegasan bahwa Rusli Habibie kelak menjadi rival keduanya di arena perpolitikan Gorontalo.
Dengan demikian harapan Adhan Dambea dan Gusnar Ismail menyususn kekuatan politik baru rupanya terancam kandas ditengah jalan, karena Rusli Habibie secara defakto dan de jure telah memegang kendali politik melalui partai terbesar di Gorontalo. Apalagi jika kemudian Rusli Habibie berhasil merangkul Bupati Zainudin Hasan, Bupati David Bobihoe Akib, Bupati Ismet Mile dan Bupati Iwan Bokings, maka lengkap sudah benteng pertahanan Rusli Habibie dari rival-rival politiknya.
Menariknya lagi, Sekretaris Daerah Provinsi Gorontalo Idris Rahim rupanya cukup cerdas memainkan kartu trufnya ketika sempat didekati kedua tokoh Adhan Dambea dan Gusnar Ismail masuk ke dalam lingkaran peta politik baru Gorontalo. Idris Rahim merupakan sosok yang daya analisanya cukup mumpuni sehingga tidak terjebak pada skenario yang tengah dimainkan Gusnar Ismail dan Adhan Dambea.
Posisi Rusli Habibie tengah diatas angin, ia bakal tidak tertandingi oleh berbagai maneuver-manuver lawan politiknya paling tidak dalam lima tahun kedepan. Hal ini cukup beralasan karena Rusli Habibie kini memiliki akses yang sangat terbuka lebar ke tingkat elite politik di Jakarta, dan apalagi disana ada Fadel Muhammad yang sangat dekat dengan Presiden SBY dan elit-elit politik Golkar yang sangat berpengaruh, kemudian Suharso Monoarfa yang pernah mempunyai sejarah kelam karena faktor AW. Thalib yang diususng PPP saat Pilwako lalu. Suharso juga memiliki kedekatan emosional dengan Rusli Habibie karena keduanya pernah menjadi penghuni Asrama Mahasiswa Gorontalo di jalan Cihampelas Bandung, keduanya juga pernah menjadi Ketua HPMIG Bandung.
Selain itu Rusli Habibie juga memiliki akses melalu jalur klan keluarga Habibie yang bertebaran di berbagai Departemen di Jakarta yang sampai saat ini masih cukup disegani. Selanjutnya melalui jalur Himpunan warga Gorontalo di Bandung, Jokyakarta, dan Jakarta. Maklum saja Rusli Habibie sejak lulus SMA sudah hidup di Jakarta dan Bandung. Ia merupakan Sarjana Fisip Universitas Pasundan Bandung dan puluhan tahun meniti karir di Industri Pesawat Terbang IPTN Bandung. Nilai tambah lainnya yang juga dimiliki Rusli Habibie adalah statusnya sebagai Pengusaha atau Kontraktor yang ditunjang oleh pengalaman dan pergulatannya bertahan hidup di Kota Metropolitan Jakarta dan Bandung yang kelak diyakini akan sangat menunjang lahirnya inspirasi dan referensi yang dimanifestasikan melalui terobosan-terobosan baru dan gagasan baru bagi pembangunan dan Kemajuan Gorontalo kedepan.
Sisi positif lainnya, sosok Rusli termasuk tipe pemimpin yang memiliki rasa hormat dan beretika terutama kepada senior-seniornya, Buktinya, sehari menjelang Musda Rusli sowan ke sesepuh Golkar di Gorontalo seperti Ahmad Hoesa Pakaya dan Medi Botutihe. Hal ini merupakan pertanda bagus dan semoga saja kedepan masih tetap terpatri dari seorang Rusli dalam memimpin Gorontalo.
Meski demikian, Rusli Habibie juga seorang manusia biasa yang pasti memiliki resistensi kepribadian yang beresiko. Untuk itu Rusli Habibie kedepan tetap membutuhkan wejangan dan kritik membangun dari siapapun. Untuk itu Rusli Habibie harus membuka diri terhadap berbagai kritik dari siapapun, membuka akses seluas-luasnya kepada seluruh elemen yang ada dan diharapkan tetap menjaga kepercayaan rakyat dengan tidak mau menyakiti hati rakyat. Hal yang paling menyakitkan hati rakyat dari seorang pemimpin adalah ketika mengambil keputusan dan kebijakan tidak mau mendengar hati nurani rakyat yang dipimpinnya. Benar, apa yang pernah dikatakan mendiang mantan Presiden Amerika Serikat Jhon F. Kenedy bahwa pemimpin yang baik adalah pemimpin yang dipercaya oleh rakyat. Bagaimana menjaga kepercayaan rakyat itu? Jangan sekali-kali menyakiti hati rakyat.
Lantas, Bagaimana Nasib Gusnar Ismail dan Adhan Dambea pasca terpilihnya Rusli Habibie menjadi Ketua DPD I Golkar?,Di satu sisi dapat dipredikasi bahwa ketokohan Gusnar Ismail sebagai pemimpin tetap berlangsung dengan aman dan baik minimal hingga tahun 2011 mendatang. Sementara posisi Adhan Dambea sebagai Walikota tetap diprediksi aman hingga tahun 2013 mendatang, kecuali jika ada kasus hukum yang akan mengganjalnya. Prediksi ini bisa saja benar karena diyakini Rusli Habibie akan tetap mengikuti jejak Fadel Muhammad yang senantiasa menjunjung tinggi konstitusi dan bakal tidak ingin menciptakan friksi dan konflik dengan tokoh-tokoh pemimpin lainnya di Gorontalo. Apalagi, Gusnar Ismail, Rusli Habibie dan Adhan Dambea selama ini merupakan sahabat yang selalu rukun-rukun saja. Hanya saja kedepan perlu kita lihat perkembangannya, apakah Rusli Habibie akan mengakomodir atau membersihkan orang-orang Adhan Dambea dan Gusnar Ismail dalam lingkaran kekuasaannya nanti? Bagaimanapun juga dalam tataran realitas di tubuh Golkar menjelang berakhirnya kepengurusan DPP dan DPD I Golkar kemudian terkait dengan perebutan kursi Ketua DPRD Provinsi, Golkar Gorontalo pecah menjadi dua kubu yakni Kubu Fadel dan Adhan Dambea, Kubu Fadel rupanya diatas angin karena ia didukung oleh DPP, dan oleh lima DPD II beserta organisasi bentukan Golkar. Hal ini dipresentasikan melalui keberhasilan Marten Taha yang lolos sebagai Ketua Deprov, Rustam Akili kemudian menjadi Ketua Fraksi. Sementara Kubu Adhan semisal Ishak Liputo tidak diberi porsi jabatan apa-apa kecuali sebagai anggota biasa. Posisi Rusli yang tengah diatas angin ini tidak lantas membuatnya ongkang-ongkang kaki karena konstalasi politik ini akan berubah cepat jika ia gagal membangun konsolidasi Partai di tingkat Kabupaten. Hal ini bisa saja terjadi, karena Adhan Dambea dan Gusnar Ismail akan tetap berpeluang membangun kekuatan melalui deal-deal politik menjelang Pilkada di tiga Kabupaten dan Pilgub 2011. Bahkan ada pemikiran yang cukup radikal yakni Rusli Habibie harus membangun kekuatan dari akar rumput kader-kader Golkar potensial di Kecamatan-kecamatan dan Kelurahan di Kota Gorontalo yang selama ini menjadi basis kekuatan Adhan Dambea. Sementara, Gusnar Ismail, bagi Rusli bukan rival yang mampu menjungkalkan derap langkah politiknya karena Gusnar sendiri tidak memiliki basis masa yang jelas kecuali birokrat yang nota bene tidak bisa bergerak di arena politik praktis. Kecuali jika Gusnar berhasil membangun kekuatan melalui partai-partai gurem, tapi itupun peluangnya sangat kecil karena masing – masing partai tersebut memiliki tokoh-tokoh yang juga tidak kalah kapasitas dan kapabilitas dengan Gusnar semisal Ismet Mile, Zainudin Hasan dan Iwan Bokings.
Yang menjadi kendala bagi Rusli Habibie kedepan adalah, bagaimana ia menampung, mengakomodir dan memposisikan diri ketika banyak tokoh-tokoh politik di Gorontalo yang memiliki perbedaan pandangan dan kepentingan melakukan manuver-manuver politik. Sementara dalam posisinya Rusli harus tetap mengambil sebuah keputusan yang jelas dan pasti. Untuk itu kepekaan dan kejelian Rusli kedepan benar-benar akan diuji dan ditantang apakah ia lolos dalam dinamika politik yang akan terus bergulir. Apalagi pada 2010 yang tinggal sebulan lagi dimana tiga daerah akan melaksanakan Pemilihan Bupati menjadi tantangan tersendiri bagi Rusli untuk meloloskan kadernya menjadi Bupati di ketiga daerah tersebut. Di era kepemimpinan Fadel selama lima tahun, hanya Kabuapten Bone Bolango, Kota Gorontalo dan Kab. Gorut yang dimenangkan oleh kader Golkar, sementara Boalemo, Pohuiwato dan Kab. Gorontalo, Golkar tidak mampu mendudukan kadernya. Sehingga tahun 2010 adalah ujian paling berat bagi Rusli Habibie untuk meloloskan kadernya terutama di Kab. Pohuwato dan Kab. Gorontalo.(***)
Performance Birokrat dan Pengusaha Ketika Menjadi Pemimpin
Oleh : Ali Mobiliu,
Redaktur Pelaksana Harian Suara Publik
Pemred Gema PGRI Provinsi Gorontalo
Keinginan Calon Bupati Yusuf Giasi menggandeng pengusaha muda Hardi Hemeto sebagai calon Wakil Bupati pada Pilkada Pohuwato 2010, merupakan ide cemerlang yang patut disambut oleh segenap rakyat Pohuwato. Calon Bupati dan Wakil Bupati dengan latar belakang Birokrat dan Pengusaha saat ini memang tengah menjadi trend di setiap Pilkada di Indonesia. Menariknya lagi, Banyak calon dengan latar belakang Birokrat dan Pengusaha yang berhasil lolos mendulang suara terbanyak pada Pilkada. Di Provinsi Gorontalo sendiri hampir seluruh Kabupaten yang memiliki Bupati atau Wakil Bupati dengan latar belakang pengusaha dan Birokrat terbilang berhasil membangun daerahnya secara optimistis dengan capaian lompatan-lompatan keberhasilan yang sarat dengan inovasi. Hal ini terjadi karena seorang pengusaha dimana –mana menganut pola pikir yang selalu ingin maju sehingga memiliki terobosan-ide dan gagasan yang sarat dengan inovasi. Ide dan gagasan yang prospektif dari pemimpin yang pengusaha ini akan termanifestasikan secara konkrit bila didukung oleh pengetahuan yang mapan terhadap seluk beluk pemerintahan. Dengan asumsi ini, maka pasangan Bupati dan Wakil Bupati yang berbasis pengusaha dan Birokrat merupakan pasangan ideal yang bakal melahirkan perubahan-perubahan yang cukup signifikan.
Acuan yang paling dekat adalah, Pasangan Bupati Rusli Habibie dan Indra Yasin di Kabupaten Gorut. Dan pasangan Bupati Zainudin Hasan dan Yusuf Giasi di Kabupaten Pohuwato. Di Kab. Gorut, Rusli Habibie yang seorang pengusaha dan Indra Yasin yang Birokrat meski baru setahun memimpin pemerintahan tapi sejauh ini dinilai sukses membangun daerahnya yang saat ini tengah giat-giatnya melakukan berbagai terobosan pembangunan di berbagai sektor. Tidak heran jika geliat ekonomi Kab. Gorut dalam setahun terakhir ini menunjukkan peningkatan terutama dari pertumbuhan ekonomi, berkurangnya angka kemiskinan dan pengangguran serta meningkatnya tingkat pendapatan masyarakat. Tidak heran pula jika di Kab. Gorontalo Utara dalam satu tahun kedepan ini akan memiliki jalan By Pass yang terluas dan terpanjang di Provinsi Gorontalo.
Di Kabupaten Pohuwato sendiri, Bupati Zainudin Hasan dan Wakil Bupati Yusuf Giasi juga adalah pasangan Pengusaha dan Birokrat yang selama ini merupakan daerah dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup mencengangkan. Kabupaten Pohuwato di mata masyarakat Gorontalo merupakan daerah yang maju, masyarakatnya sejahtera dengan capaian pembangunan yang sangat prospektif yang dipresentasikan oleh predikat daerah ini sebagai lumbung pangan dan pertanian di Provinsi Gorontalo maupun disimbolkan oleh keberadaan kompleks perkantoran Block Plan di Ibu Kota Kabupaten yang begitu asri, indah dan tertata rapi.
Ditinjau dari sudut keberhasilan pembangunan di daerah-daerah yang ada di Provinsi Gorontalo, kedua daerah ini yakni Kabupaten Pohuwato dan Gorut adalah yang paling menonjol dan mengalami percepatan pembangunan yang signifikan dibandingkan dengan daerah lain semisal Kabupaten Boalemo, Kab.Gorontalo, Kabupaten Bone Bolango maupun Kota Gorontalo.
Hal ini tidak terlepas dari performance Pemimpin di kedua daerah ini yang berlatar belakang pengusaha dan Birokrat, atau Birokrat dan pengusaha. Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Bone Bolango menjadi contoh nyata, betapa di kedua daerah ini dari segi pembangunan infrastrukturnya dalam rentang waktu lima tahun misalnya tidak mengalami peningkatan yang signifikan sehingga sulit bagi masyarakat mengukur indikator keberhasilan secara jelas. Di Kabupaten Gorontalo, Bupati David Bobihoe Akib yang pada awal pemerintahannya berpasangan dengan politisi tulen Sofyan Puhi justru pada pertengahan pemerintahannya mengalami friksi dan konflik terselubung yang berakhir dengan mundurnya Sofyan Puhi yang lebih baik memilih menjadi Anggota DPRD Provinsi.
Selain itu, performance Bupati David dalam memimpin Kabupaten Gorontalo karena mungkin latar belakangnya yang birokrat tulen sehingga lebih cenderung terjebak pada rutinitas pemerintahan yang sarat dengan seremonial dan populis. Keberhasilannya lebih cenderung dipersepsikan kepada masyarakat melalui penghargaan-penghargaan dari pemerintah pusat yang proses penilaiannya tidak pernah dibuka dihadapan publik. Gejala lain yang muncul dari gaya pemerintahan Bupati adalah rajin keluar masuk kampong, melantik kades, meresmikan Mahyani, memberikan bantuan secara populis kepada masyarakat miskin, membagi-bagikan rokok kepada anak-anak muda yang biasa nongkrong dipingggiran jalan, rajin mengikuti upacara-upacara peringatan hari-hari besar dan bahkan pernah pula meremsikan MCK di sebuah desa. Dalam kegiatan-kegiatan pemerintahannya tersebut Bupati David melontarkan berbagai isu dan wejangan yang sarat dengan retorika. Hal lainnya yang menonjol dari gaya pemerintahan Bupati David adalah pemberitaan yang demikian intens terhadap prestasi-prestsinya yang mendapat pujian dari tokoh-tokoh nasional yang nota bene tidak pernah melakukan kunjungan secara intensif ke daerah ini dan prestasi mendapat undangan kehormatan menjadi pembicara di forum-forum nasional. jika mengacu pada efektifitas pemerintahan, maka gaya pemerintahan seperti ini tidak relevan lagi dengan kondisi kekinian masyarakat yang sudah memiliki pola kehidupan yang modern akibat begitu gencarnya arus informasi dan komunikasi yang sudah menembus hingga ke desa-desa.
Demikian pula halnya dengan Kabupaten Bone Bolango, performance Bupati Ismet Mile tidak jauh berbeda dengan gaya pemerintahan Bupati David. Dihadapan masyarakat kecil terutama di pedesaan-pedesaan, sosok Ismet Mile masih cenderung kuat dan terterima tetapi di tingkat elit yang berada dipusat kekuasaan yang relatif sudah memiliki tingkat pendidikan dan ekonomi yang mapan cenderung menolak dan tidak respeck. Sama halnya dengan Bupati David, Ismet Mile juga adalah seorang Birokrat tulen yang selama memimpin ia didampingi Wakil Bupati Kris Wartabone yang juga seorang politisi tulen. Dari segi capaian keberhasilan pembangunan, pemerintahan Ismet Mile juga seperti Kabupaten Gorontalo memiliki prestasi yang biasa-biasa saja, tidak ada hal baru yang menjadi “surprise” bagi masyarakat, kecuali proyek-proyek pembangunan yang datang dari Pemerintah pusat. Ismet Mile seperti halnya David Bobihoe yang juga Birokrat sangat rajin turun ke desa-desa memberikan bantuan sembari berorasi,melantik Kepala Desa dan meresmikan proyek-proyek di desaa-desa.
Profil Keempat daerah ini sangat layak dijadikan contoh betapa performance dan latar belakang pemimpin sangat menentukan maju tidaknya daerah. Kabupaten Gorut dan Pohuwato dari berbabagai capaian pembangunan di berbagai sektor sejauh ini lebih menonjol dan maju dibandingkan dengan Kab. Gorontalo dan Kab. Bone Bolango yang dipimpin oleh Bupati dan Wakil Bupati yang berlatar belakang Birokrat dan Politisi murni.
Jika keempat daerah ini dianggap belum memadai sebagai barometer terhadap asumsi ini, maka contoh yang paling dekat adalah Kota Gorontalo. Yang harus diingat, meski Walikota Adhan Dambea selama ini dikenal sebagai politisi tapi sebenarnya Adhan Dambea adalah termasuk sosok birokrat, karena ia pernah menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) kemudian berhenti dan memilih menjadi aktifis, pengusaha yang terjun ke politik. Sementara Wakil Walikota Feriyanto Mayulu adalah sosok sarjana Informatika Komputer dan pengusaha tulen. Tidak heran jika Kota Gorontalo hampir dua tahun pemerintahan Adhan dan Feriyanto tampil elegan dengan berbagai gebrakan inovasi yang cukup dinamis.
Uraian ini sekaligus diharapkan menjadi acuan bagi masyarakat di 3 Kabupaten di Provinsi Gorontalo yang memiliki agenda Pilkada, sehingga tidak salah dalam memilih seorang pemimpin.
Dalam memilih pemimpinan rasionalitas adalah hal yang mutlak dimiliki oleh masyarakat jika ingin daerahnya maju dan berkembang. Tendensi politik, ideologi dan bahkan faktor keluarga dan uang pun dalam menentukan seorang pemimpin tidak berlaku bagi masyarakat yang menganut rasionalitas.
Salah satu cirri khas masyarakat atau calon pemilih yang rasional adalah, menentukan pilihan berdasarkan asumsi-asumsi yang tidak didasari rasa emosional melainkan didasarkan pada realitas dan fakta yang mengacu pada kalkulasi dan hitungan-hitungan yang real dan konkrit tanpa ada tendensi dan pengaruh yang dapat membiaskan pikiran dalam menenukan pilihan.
Dari berbagai literature demokrasi, pemerintahan dan bila ditinjau dari prospektif ekonomi dan sosial kemasyarakatan,maka pemerintahan yang paling ideal terutama di Kabupaten Kota adalah kolaborasi pemerintahan yang dipimpin oleh sosok Pengusaha dan Birokrat, atau Birokrat maupun pengusaha.
Jika mengacu pada asumsi ini, maka di Kabupaten Pohuwato pasangan yang paling memungkinkan dan cukup prospektif dan ideal adalah pasangan Ir. Yusuf Giasi dan Hardi Hemeto, SE. Kedua figur ini masih jauh lebih baik dan elegan dibandingkan dengan Syarif Mbuinga yang politisi dan Ardin Pakilie yang Birokrat. di Kab. Gorontalo David Bobihoe Akib dan Tony Yunus masih layak dipertimbangkan jika tidak ada calon lain yang muncul yang juga kombinasi Pengusaha dan Birokrat, namun wacana munculnya Sofyan Puhi dan Hamid Kuna masih jauh lebih baik performancenya dibandingkan dengan David dan Toni yang sejak awal saja sudah melanggar ketentuan kampanye yakni sudah melakukan star dalam berkampanye. Ini menandakan ada pola permainan yang tidak fair yang coba ditunjukkan dan hal itu layak menjadi catatan tersendiri bagi masyarakat Kabupaten Gorontalo dalam menentukan pilihan di TPS.
Di Kabupaten Bone Bolango sosok Hamim Pou yang telah menyatakan maju merupakan alternatif yang cukup prospektif jika dibandingkan dengan Ismet Mile yang memilih birokrat sebagai Wakilnya. Performance Ismet sebenarnya akan terdongkrak jika saja memilih figure Wakil Bupati yang seorang pengusaha. Sementara Haris Nadjamudin sangat beresiko karena ia saat ini tengah tersandung kasus Korupsi Pentadio Resort yang bakal memberikan resistensi terhadap pemerintahannya kedepan. (***)
Temui Mentrans, Bupati Rusli Peroleh Bantuan Transmigrasi Desa Potanga Biawu Jadi Lokasi Transmigrasi
Gorut (GE Meski hari libur Bupati Gorontalo Utara Rusli Habibie dan stafnya yang saat ini berada di Jakarta tetap bekerja memperjuangkan kepentingan rakyatnya. Setelah menemui Menteri Perikanan dan Kelautan Fadel Muhammad, Bupati dan rombongan Minggu (7/2) lalu kembali menemui Menteri Transmigrasi Muhaimin Iskandar.
Lagi-lagi pertemuan orang nomor satu di Kabupaten paling bungsu Provinsi Gorontalo ini membuahkan hasil yang cukup prospektif bagi masa depan Gorut.
Terungkap dalam pertemuan ini Kementerian Transmigrasi akan mengalokasikan bantuan program transmigrasi di Desa Potanga Kecamatan Biawu yang terdiri dari pembangunan perumahan 400 unit ditambah dengan dana pembangunan sarana air bersih, jalan dan lahan.
Meski tidak disebutkan berapa alokasi anggaran yang akan dikucurkan pada program ini, namun diperkirakan jumlahnya mencapai milyaran rupiah.
Menurut rencana hingga Rabu (10/2) lusa Bupati Rusli Habibie dan rombongan akan terus bergerilya melakukan lobi-lobi tingkat tinggi untuk mempresentasikan berbagai program dan terobosan-terobosannya di hadapan pejabat dan pengambil kebijakan di Jakarta guna meloloskan berbagai kepentingan rakyat Gorut. (AM)
Dari Pertemuan Bupati Rusli Dengan Menteri Perikanan dan Kelautan,
Program Minapolitan Dapat Kucuran Dana Rp. 102 Milyar
GORUT (Gerbang Emas) Perjalanan Bupati Rusli Habibie dan beberapa pejabat ke Jakarta guna memenuhi undangan Menteri Perikanan dan Kelautan Dr. Ir. Fadel Muhamad ternyata tidak sia-sia. Buktinya, Bupati yang belum genap dua tahun memimpin Gorontalo Utara itu berhasil melakukan lobi dengan mendatangkan dana yang cukup fantastis jumlahnya yakni Rp. 102 milyar untuk pengembangan Program Minapolitan di daerah ini.
Menurut informasi yang dirilis staf Humas Asin Ali dari Jakarta Minggu (7/2) lalu, Bupati Rusli Habibie diterima Fadel Muhammad pada Kamis (4/2) di Kantor Kementerian Perikanan dan Kelautan guna mempresentasikan pengembangan Minapolitan di daerahnya.
Dari presentase tersebut Menteri Fadel Muhammad sangat kagum dengan konsep dan ide Pemerintah daerah Gorut yang memiliki visi kedepan dalam mengembangankan potensi yang dimiliki daerah khususnya pengembangan kawasan Minapolitan di Kecamatan Kwandang.
Tidak heran jika dalam pertemuan itu Menteri Fadel Muhammad didampingi beberapa pejabat Kementerian langsung menyanggupi mengucurkan dana Rp. 102 Milyar untuk pengembangan Minapolitan. (AM)
Pendidikan di Kab. Gorut Mulai Bangkit, Rektor UNG Puji Terbosan Rusli Habibie
GORONTALO (GerbangEmas) Terobosan Bupati Kabupaten Gorontalo Utara Rusli Habibie di bidang pendidikan mendapat pujian dari berbagai pihak. Bahkan Ketua PGRI Provinsi Gorontalo yang juga Rektor UNG Prof. Nelson Pomalingo sangat senang dan menyambut gembira kebijakan Rusli Habibie memajukan pendidikan di Kab. Gorontalo Utara.
Pada dialog Interaktif di Warung Kopi yang disiarkan RRI Minggu (29/11) kemarin Rusli Habibie mengatakan dalam satu tahun kepemimpinannya ia memang berupaya semakismal mungkin membangun pendidikan di wilayah ini. Ia mengakui, pendidikan di Kab. Gorontalo Utara masih sangat terkebelakang sehingga sejak dilantik menjadi Bupati ia menaruh perhatian yang sangat besar terhadap kemajuan pendidikan yang saat ini masih terus berproses kea rah yang lebih baik.
Dibidang kesejahteraan guru misalnya, sejak tahun pertama kepemimpinannya ia langsung menaikkan honor tenaga GTT yang tadinya hanya Rp. 200 ribu menjadi Rp. 600 ribu. Tidak hanya itu saja untuk anggaran pendidikan dari APBD sesuai amanat konstitusi hanya 20 persen di Kab. Gorontalo Utara pada tahun lalu mencapai angka 28 persen. Demikian pula halnya dengan pemerataan dan distribusi guru yang saat ini telah hampir merata hingga ke pelosok-pelosok desa sehingga tidak ada lagi guru yang hanya berpusat di ibukota kabupaten. Untuk mempertahankan kondisi ini Rusli Habibie menerapkan peraturan dalam perekrutan dan penempatan guru sesuai domisili guru yang bersangkutan sehingga betah dalam bertugas. “Guru yang di Sumalata diupayakan berasal dari Sumalata, sehingga ia betah dan tidak minta pindah ke daerah lain.
Selain itu untuk mendorong peningkatan kinerja Kepala Sekolah, Pemerintah Daerah ungkap Rusli telah memberikan fasilitas sepeda motor Dinas untuk seluruh Kepala SD dan tahun 2010 mendatang ia mengupayakan seluruh Kepala SMP, SMA dan SMK akan mendapatkan fasilitas yang sama.
Sementara itu terkait dengan peningakatan mutu pendidikan, Pemerintahan Rusli Habibie melakukan berbagai upaya diantaranya memberikan beasiswa kepada guru untuk mengikuti pendidikan S1 bekerjasama dengan UNG, memberikan beasiswa kepada murid berprestasi. Dibidang Kurikulum Rusli Habibie menambahkan telah menginstruksikan kepada Dinas Dikpora Kab. Gorut untuk menerapkan kurikulum “entrepreneur’ atau kewirausahaan di kalangan siswa. Hal ini menurutnya sangat penting untuk melahirkan SDM yang benar-benar mampu mengembangkan potensi daerah secara optimal di masa-masa mendatang.
Yang jelas ungkap Rusli Habibie lagi, pihaknya secara konsisten akan terus membangun dan memajukan pendidikan di kab. Gorontalo Utara dengan berbagai pendekatan dan strategi sehingga pendidikan di daerah ini dapat melahirkan SDM yang handal dan berkualitas serta berakhlak. (AM)
Terobosan Bupati Rusli Habibie Majukan Pendidikan
Dimuat di Gema PGRI edisi Perdana Dwi Mingguan Februari 2010
Pendidikan di Kab. Gorontalo Utara dalam beberapa tahun belakangan ini terus menunjukkan geliat dan dinamika yang menggembirakan. Hal itu dapat dilihat dari berbagai upaya dan terobosan Pemerintah Daerah dalam meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan guru serta peningkatan mutu pendidikan secara keseluruhan. Terobosan Rusli Habibie ini diapreasiasi dan disambut positif Rektor Universitas Negeri Gorontalo (UNG) Prof. Nelson Pomalingo, M.Pd yang juga Ketua PGRI Provinsi Gorontalo. Hal ini terungkap di sela-sela Dialog interaktif yang diselenggarakan PGRI Provinsi Gorontalo yang disiarkan langsung oleh RRI Gorontalo di salah satu warung Kopi di kawasan Kota Gorontalo. Dibawah ini sekilas program Bupati Rusli Habibie untuk kemajuan pendidikan di Kab. Gorut :
Motor MegaPRO untuk Kepala SD
Salah satu terobosan Bupati Rusli Habibie untuk mendorong peningkatan kinerja aparat pendidikan di daerahnya, belum lama ini Pemerintah Daerah memberikan fasilitas Kenderaan dinas roda dua kepada seluruh Kepala SD se Kab. Gorut. Rusli Habibie mengatakan, motor untuk para Kepala Sekolah ini adalah jenis motor terbaik dan bukan “motor cina” melainkan Sepeda Mega Pro. Dikatakannya untuk kepala Sekolah SMP-SMA maupun SMK, pihaknya berencana akan mangalokasikan anggaran khusus untuk itu. Kapan sepeda motor untuk Kepala SMP dan SMA tersebut diberikan, Rusli Habibie belum dapat memastikannya. “Yang jelas, kita tetap berencana memberikan fasilitas yang sama untuk Kepala SMP maupun SLTA” tandas Rusli disambut aplaus audiensi yang hadir saat itu.
Anggaran Pendidikan 28 Persen
Sejak dipercaya menajdi Buapti Kab. Gorontalo satu tahun yang lalu, Pemerintahan Bupati Rusli Habibie dan Indra Yasin telah mengalokasikan anggaran pendidikan 28 persen melampaui amanat kosntitusi yang hanya 20 persen.
Alokasi anggaran sebesar itu menurut Rusli Habibie merupakan manifestasi komitmen Pemerintah daerah untuk meningkatkan mutu pendidikan di daerah ini, yang pada akhirnya diharapkan akan berdampak pada out put SDM Gorut di masa-masa mendatang.
Naikkan Honor GTT
Selain memberikan fasilitas kenderaan bermotor, Bupati Rusli Habibie sejak tahun lalu telah berupaya semaksimal mungkin meningkatkan kesejahteraan guru khususnya Guru Tidak Tetap (GTT) sebanyak 3 kali lipay yakni menjadi Rp. 600 ribu. Menurut Rusli, sebelumnya para GTT ini hanya menerima honor sebesar Rp. 200 ribu yang dinilainya sangat jauh dari mencukupi. Upaya menaikkan honor GTT ini kata Rusli berangkat dari keprihatinannya terhadap nasib GTT yang diperhadapkan pada tugas yang sulit, namun kehidupan mereka sangat memprihatinkan.
Kembangkan Pendidikan Berbasis “Entrepreneur”
Guna meningkatkan derajat kehidupan masyarakat Gorut di masa mendatang, Pemerintahan Rusli Habibie melalaui Dinas Dikpora Gorut mulai mengembangkan pendidikan berbasis wirausaha atau Entrepreneur yang diharapkan dapat melahirkan generasi yang mandiri dan mampu mengembangkan potensi daerah. Rusli menilai, di Negara-neagar maju semisal China, siswa sejak dini mulau diasah kemampuan mereka untuk menjadi pribadi yang mandiri dan berjiwa wirausaha sehingga tidak heran jika Negara seperti China meraih kemajuan ekonomi yang sangat pesat. Untuk itu Rusli Habibie bertekad mulai merintis pengembangan pendidikan berbasis wirausaha di daerahnya.
Pemerataan dan Distribusi Guru
Untuk meningkatkan mutu pendidikan melalui upaya memberikan layanan pendidikan khususnya peningkatan akses pendidikan bagi seluruh masyarakat Gorut, Pemerintah Kab. Gorut melakukan terobosan dan kebijakan pemerataan guru yang komprehensif melalui penempatan guru sesuai domisili guru yang bersangkutan. Hal ini, ungkap Rusli diharapkan dapat meminimalisir penumpukan guru di ibukota kabupaten. Dengan upaya ini kedepan sekolah-sekolah di daerah terpencil tidak akan pernah kekurangan guru.
Beasiswa Untuk Guru dan Siswa
Bupati Rusli Habibie rupanya sangat menyadari betul bahwa guru merupakan garda terdepan dalam proses pelaksanaan pendidikan. Terkait dengan hal itu, Bupati Rusli Habibie dalam setahun terkahir ini dan di tahun-tahun mendatang akan terus memebrikan beasiswa kepada para guru untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang S1. Untuk kepentingan ini, Pemerintah daerah kata Rusli akan bekerja sama dengan UNG untuk menempa kualitas dan kompetensi guru dari Kab. Gorut. Upaya ini menurut Rusli sekaligus mendukung program sertifikasi guru yang mempersyaratkan harus berpendidikan S1. Untuk itu Rusli berharap agar guru-guru di daerahnya terus mengembangkan profesionalisme dan kompetensiya sebagai pendidik.(AM)
Memaknai GERBANG EMASSebagai Brand Image Gorut
Oleh : Ali Mobiliu
Redaktur Pelaksana Harian Suara Publik
Dimuat di Harian Suara Publik 7 Desember 2009
“Gerbang Emas” yang menjadi ikon dan semangat Pemerintahan Rusli Habibie dan Wakil Bupati Indra Yasin saat ini boleh disebut telah menjadi “brand imagenya” Kab. Gorut. Melihat, mendengar dan Ingat Emas pasti ingat Gorut, ingat Gorut pasti ingat gerbang. Itulah yang disebut dengan Brand Image, yakni menyebut, mengingat, mendengar, melihat sesuatu barang, maka fantasi, khayalan, gambaran maupun imajinasi seseorang akan muncul secara spontan dan refleks ke sesuatu barang.
Di Perusahaan-perusahaan berskala nasional dan internasional membangun “Brand Image” bukan sebuah pekerjaan mudah. Dibutuhkan bertahun-tahun menganalisa, mengkaji dan melakukan riset dengan melibatkan pakar pemasaran untuk melahirkan sebuah istilah yang kemudian menjadi brand image bagi perusahaan.
Pasta Gigi merk Pepsodent misalnya, termasuk yang berhasil menciptakan brand imagenya hingga terus hidup beberapa generasi. Tidak heran jika meski dalam perkembangannya banyak bermunculan merk-merk pasta gigi, tetap saja di masyarakat, nama pepsodent diidentifikasikan pada pasta gigi merk lain.
Di Provinsi Gorontalo Fadel Muhammad termasuk sosok Gubernur yang mampu membangun jagung sebagai brand imagenya Gorontalo. Ingat jagung, pasti ingat Gorontalo, ingat Gorontalo pasti ingat jagung. Disinilah kunci awal keberhasilan Fadel Muhammad sebagai seorang pemimpin. Yakni kecerdasannya sebagai seorang top leader mampu menembus cakrawala pemikiran brilian yang berdampak positif ke masyarakat dalam rentang waktu yang panjang. Selain itu, banyak deretan perusahaan-perusahaan yang maju dan berkembang pesat dan menjadi legenda karena berhasil membangun “Brand Image”.
Brand Image berawal dari ide dan gagasan memberi identifikasi terhadap suatu produk atau suatu daerah yang diharapkan member imbas dan menjadi simbol yang terus hidup di masyarakat. Tidak mengherankan jika setiap daerah, setiap perusahaan selalu memiliki ikon-ikon seperti itu. Kota Gorontalo saat Pemerintahan Medi Botutihe mencanangkan Kota Gorontalo sebagai “Serambi Madinah”, Di era Walikota Adhan Dambea saat ini, Kota Gorontalo sebagai Kota Entrepreneur. Demikian pula halnya di Kab. Gorontalo yang dikenal dengan “Dulo Ito Momongu Lipu” di Kab. Boalemo dikenal dengan Bumi Bertasbih dan masih banyak lagi ikon-ikon daerah yang coba dimunculkan.
Persoalannya, apakah semua ikon yang diciptakan itu kelak akan berdampak terhadap masyarakat dan menjadi sebuah brand Image? Belum tentu, karena banyak bukti yang menunjukkan bahwa tidak semua ikon, julukan, identifikasi dan simbol daerah membumi dan berdampak terhadap masyarakat.
Lantas bagaimana agar sebuah ikon dan simbol menjadi sebuah Brand image? Banyak variabel-variabel yang harus dijawab dan dirumuskan terlebih dahulu sebelum ikon itu dimunculkan. Diantaranya adalah mudah diingat, selalu diekspose, memiliki sejuta makna, berdampak terhadap masyarakat. Mudah dipahami dan tidak menggunakan kata yang berbelit-belit.
Tidak bermaksud memuji dan mengkultuskan pemerintahan Rusli Habibie dan Indra Yasin, namun tulisan ini sekedar mengajak masyarakat Gorut untuk bangkit dan berpikir optimis bahwa ikon Gerbang Emas selain memiliki potensi dan kekuatan menjadi sebuah Brand Image yang cukup ampuh tapi juga ikon ini mengandung filosofi-filosofi kehidupan yang kaya makna.
Gerbang, mudah dijumpai dimana-mana, setiap rumah dan gedung hamper dipastikan memiliki pintu gerbang. Gerbang bila didefinsikan melalui pendekatan fungsinya diartikan sebagai wahana “memasuki” sebuah ruang yang lebih nyaman, aman dan tenteram. Demikian pula dengan kata Emas, siapapun selalu memimpikan, mencintai dan mendambakan emas yang dikenal di seluruh dunia sebagai barang mewah yang mahal harganya itu. Jika Ikon ini akan menjadi Brand Image maka kelak jika melihat Gerbang, pasti ingat Gorut, berada di Gorut pasti ingat Gerbang, atau Lihat dan memakai Emas pasti ingat Gorut,dan berada di Gorut pasti dapat emas. Karena Gerbang identik dengan “pintu masuk” maka dapat pula diartikan Gorut sebagai pintu meraih emas. Yakni siapa saja yang masuk ke Kab. Gorut akan meraih emas yakni emas yang memiliki makna yang sangat luas yang tidak harus emas dalam bentuk perhiasan.
Ikon ini juga tidak hanya sekedar dua rangkaian kata yang bisa diterjemahkan menjadi ruh pembangkit semangat meraih kemajuan, tapi dalam tataran realitas, Kab. Gorut sebenarnya menyimpan Emas, potensi perikanan dan Kelautan yang melimpah,Keindahan panorama laut dengan banyaknya pulau-pulau kecil dan besar, kemudian potensi pertanian dan perkebunan, belum lagi orang-orang Gorut yang ramah dan hidup aman, tentram dan damai di tengah pluralisme, juga merupakan potensi yang menyimpan emas.
Namun dalam realitasnya pula harus diakui bahwa untuk masuk ke pintu gerbang di rumah milik siapapun, ada etika-etika kesopanan yang harus dijunjung tinggi, jika tidak, belum masuk pintu gerbang saja sudah diusir oleh tuan rumah. Begitu pula halnya dengan Emas, dimana-mana untuk memperoleh emas itu tidak mudah, tetapi jika berhasil memperolehnya, terkadang membuat orang jadi congkak, angkuh dan sombong atau riya.
Hal ini mengandung makna bahwa dengan ikon Gerbang Emasnya, masyarakat Gorut tetap diharapkan menjunjungi tinggi nilai – nilai luhur, etika dan kesopanan sebagaimana tuntunan ketika hendak memasuki pintu gerbang. Demikian pula untuk meraih emas, membutuhkan kerja keras, dan bahkan pengorbanan.Emas tidak dapat diperoleh dengan hidup berfoya-foya dan santai. (***)